Menurut Bell (1978, h.97), tiap teori dapat dipandang sebagai suatu
metoda untuk mengorganisasi serta mempelajari berbagai variabel yang
berkaitan dengan belajar dan perkembangan intelektual, dan dengan
demikian guru dapat memilih serta menerapkan elemen-elemen teori
tertentu dalam pelaksanaan pengajaran di kelas. Bagaimana matematika
seharusnya dipelajari? Pertanyaan ini nampaknya sederhana, akan tetapi
memerlukan jawaban yang tidak sederhana. Karena pandangan guru tentang
proses belajar matematika sangat berpengaruh terhadap bagaimana mereka
melakukan pembelajaran di kelas, maka mempelajari teori-teori yang
berkaitan dengan belajar matematika harus menjadi prioritas bagi para
pendidik matematika.
Gagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William
Brownell pada awal pertengahan abad duapuluh merupakan ide dasar dari
teori konstruktivisme. Menurut Brownell (dalam Reys, Suydam, Lindquist,
& Smith, 1998), matematika dapat dipandang sebagai suatu sistem yang
terdiri atas ide, prinsip, dan proses sehingga keterkaitan antar
aspek-aspek tersebut harus dibangun dengan penekanan bukan pada memori
atau hapalan melainkan pada aspek penalaran atau intelegensi anak.
Selanjutnya Reys dkk. (1998) menambahkan bahwa matematika itu haruslah
make sense. Jika matematika disajikan kepada anak dengan cara yang
demikian, maka konsep yang dipelajari menjadi punya arti; dipahami
sebagai suatu disiplin yang terurut, terstruktur, dan memiliki
keterkaitan satu dengan lainnya; serta diperoleh melalui proses
pemecahan masalah yang bervariasi. Dalam NCTM Standards (1989) belajar
bermakna merupakan landasan utama untuk terbentuknya mathematical
connections. Untuk terbentuknya kemampuan koneksi matematik tersebut,
dalam NCTM Standards (2000) dijelaskan bahwa pembelajaran matematika
harus diarahkan pada pengembangan kemampuan berikut: (1) memperhatikan
serta menggunakan koneksi matematik antar berbagai ide matematik, (2)
memahami bagaimana ide-ide matematik saling terkait satu dengan lainnya
sehingga terbangun pemahaman menyeluruh, dan (3) memperhatikan serta
menggunakan matematika dalam konteks di luar matematika.
Selain Brownell, ahli-ahli lain seperti Piaget, Bruner, dan Dienes
memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan
konstruktivisme. Berdasarkan pandangan ini, pengetahuan matematik
dibentuk melalui tiga prinsip dasar berikut ini.
- Pengetahuan tidak diterima secara pasif. Pengetahuan dibentuk atau ditemukan secara aktif oleh anak. Seperti disarankan Piaget bahwa pengetahuan matematika sebaiknya dikonstruksi oleh anak sendiri bukan diberikan dalam bentuk jadi.
- Anak mengkonstruksi pengetahuan matematika baru melalui refleksi terhadap aksiaksi yang dilakukan baik yang bersifat fisik maupun mental. Mereka melakukan observasi untuk menemukan keterkaitan dan pola, serta membentuk generalisasi dan abstraksi (Dienes, 1969, h.181).
- Bruner (dalam Reys dkk., 1998, h. 19) berpandangan bahwa belajar, merefleksikan suatu proses sosial yang di dalamnya anak terlibat dalam dialog dan diskusi baik dengan diri mereka sendiri maupun orang lain termasuk guru sehingga mereka berkembang secara intelektual.
Prinsip ini pada dasarnya menyarankan bahwa anak sebaiknya tidak
hanya terlibat dalam manipulasi material, pencarian pola, penemuan
algoritma, dan menghasilkan solusi yang berbeda, akan tetapi juga dalam
mengkomunikasikan hasil observasi mereka, membicarakan adanya
keterkaitan, menjelaskan prosedur yang mereka gunakan, serta memberikan
argumentasi atas hasil yang mereka peroleh. Jelaslah bahwa
prinsip-prinsip di atas memiliki implikasi yang signifikan terhadap
pembelajaran matematika. Prinsip-prinsip tersebut juga mengindikasikan
bahwa konstruktivisme merupakan suatu proses yang memerlukan waktu serta
merefleksikan adanya sejumlah tahapan perkembangan dalam memahami
konsepkonsep matematika. Menurut Vygotsky (dalam John dan Thornton,
1993), proses peningkatan pemahaman pada diri siswa terjadi sebagai
akibat adanya pembelajaran. Diskusi yang dilakukan antara guru-siswa
dalam pembelajaran, mengilustrasikan bahwa interaksi sosial yang berupa
diskusi ternyata mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk
mengoptimalkan proses belajarnya. Interaksi seperti itu memungkinkan
guru dan siswa untuk berbagi dan memodifikasi cara berfikir
masing-masing. Selain itu terdapat juga kemungkinan bagi sebagian siswa
untuk menampilkan argumentasi mereka sendiri serta bagi siswa lainnya
memperoleh kesempatan untuk mencoba menangkap pola berfikir siswa
lainnya. Episode seperti ini, diyakini akan dapat meningkatkan
pengetahuan serta pemahaman tentang obyek yang dipelajari dari tahap
sebelumnya ke tahapan yang lebih tinggi. Proses yang mampu menjembatani
siswa pada tahapan belajar yang lebih tinggi seperti ini menurut
Vygotsky (1978) disebut sebagai zone of proximal development (ZPD).
Menurut Vygotsky, belajar dapat membangkitkan berbagai proses mental
tersimpan yang hanya bisa dioperasikan manakala seseorang berinteraksi
dengan orang dewasa atau berkolaborasi dengan sesama teman. Pengembangan
kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar sendiri (tanpa bantuan
orang lain) pada saat melakukan pemecahan masalah disebut sebagai actual
development, sedangkan perkembangan yang terjadi sebagai akibat adanya
interaksi dengan guru atau siswa lain yang mempunyai kemampuan lebih
tinggi disebut potential development. Zone of proximal development
selanjutnya diartikan sebagai jarak antara actual development dan
potential development.
Vygotsky (dalam John dan Thornton, 1993) selanjutnya menjelaskan
bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap: tahap pertama terjadi pada
saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya dilakukan
secara individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi. Selama
proses interaksi terjadi baik antara guru-siswa maupun antar siswa,
kemampuan berikut ini perlu dikembangkan: saling menghargai, menguji
kebenaran pernyataan fihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi
pendapat yang berkembang.
Selain adanya tahapan perkembangan dalam memahami konsep-konsep
matematika, terdapat juga tahapan perkembangan dalam kaitannya dengan
intelektual atau kognitif anak seperti yang dikemukakan oleh Piaget,
Bruner, dan Dienes. Sekalipun tahapan perkembangan yang dikemukakan oleh
mereka masing-masing berbeda, akan tetapi kerangka dasar yang
dikemukakan ketiganya pada prinsipnya adalah sama. Menurut Piaget
perkembangan intelektual anak mencakup empat tahapan yaitu sensori
motor, preoperasi, operasi kongkrit, dan operasi formal. Selain itu,
Piaget (dalam Bell, 1978) juga menyatakan bahwa perkembangan intelektual
anak merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam
struktur mental. Asimilasi adalah suatu proses dimana informasi atau
pengalaman yang diperoleh seseorang masuk ke dalam struktur mentalnya,
sedangkan akomodasi adalah terjadinya restrukturisasi dalam otak sebagai
akibat adanya informasi atau pengalaman baru. Piaget selanjutnya
menjelaskan bahwa perkembangan mental seseorang dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yakni kematangan, pengalaman fisik, pengalaman
matematis-logis, transmisi sosial (interaksi sosial), dan keseimbangan.
Bruner mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak itu mencakup
tiga tahapan yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik. Pada tahap enaktif,
anak biasanya sudah bisa melakukan manipulasi, konstruksi, serta
penyusunan dengan memanfaatkan bendabenda kongkrit. Pada tahap ikonik,
anak sudah mampu berfikir representatif yakni dengan menggunakan gambar
atau turus. Pada tahap ini mereka sudah bisa berfikir verbal yang
didasarkan pada representasi benda-benda kongkrit. Selanjutnya pada
tahap simbolik, anak sudah memiliki kemampuan untuk berfikir atau
melakukan manipulasi dengan menggunakan simbol-simbol.
Sementara itu Dienes berpandangan bahwa belajar matematika itu
mencakup lima tahapan yaitu bermain bebas, generalisasi, representasi,
simbolisasi, dan formalisasi. Pada tahap bermain bebas anak biasanya
berinteraksi langsung dengan benda-benda kongkrit sebagai bagian dari
aktivitas belajarnya. Pada tahap berikutnya, generalisasi, anak sudah
memiliki kemampuan untuk mengobservasi pola, keteraturan, dan sifat yang
dimiliki bersama. Pada tahap representasi, anak memiliki kemampuan
untuk melakukan proses berfikir dengan menggunakan representasi
obyek-obyek tertentu dalam bentuk gambar atau turus. Tahap simbolisasi,
adalah suatu tahapan dimana anak sudah memiliki kemampuan untuk
menggunakan simbol-simbol matematik dalam proses berfikirnya. Sedangkan
tahap formalisasi, adalah suatu tahap dimana anak sudah memiliki
kemampuan untuk memandang matematika sebagai suatu sistem yang
terstruktur. Berdasarkan pandangan yang dikemukakan oleh Piaget, Bruner,
dan Dienes di atas, dapat diperoleh hal-hal berikut ini.
- Anak dapat secara aktif terlibat dalam proses belajar dan kesempatan untuk mengemukakan ide-ide mereka merupakan hal yang sangat esensial dalam proses tersebut.
- Terdapat sejumlah karakteristik dan tahapan berfikir yang teridentifikasi dan dapat dipastikan bahwa anak melalui tahapan-tahapan tersebut.
- Belajar bergerak dari tahapan yang bersifat kongkrit ke tahapan lain yang lebih abstrak.
- Kemampuan untuk menggunakan simbol serta representasi formal secara alamiah berkembang mulai dari tahapan yang lebih kongkrit.
Pengajaran yang efektif antara lain ditandai dengan keberhasilan
anak dalam belajar. Dengan demikian untuk berhasilnya pengajaran
matematika, pertimbanganpertimbangan tentang bagaimana anak belajar
merupakan langkah awal yang harus diperhatikan. Dalam upaya untuk
melakukan hal tersebut, diperlukan beberapa prinsip dasar seperti yang
akan dibahas di bawah ini. Prinsip-prinsip tersebut merupakan implikasi
dari teori belajar yang telah dikemukakan sebelumnya.
Siswa Terlibat Secara Aktif
Prinsip ini berlandaskan pada pandangan bahwa keterlibatan anak secara
aktif dalam suatu aktivitas belajar memungkinkan mereka memperoleh
pengalaman yang mendalam tentang bahan yang dipelajari, dan pada ahirnya
akan mampu meningkatkan pemahaman anak tentang bahan tersebut.
Sebagaimana pepatah cina yang menyatakan bahwa ”Saya mendengar dan saya
lupa; saya melihat dan saya ingat; serta saya mencoba dan saya
mengerti”, mengisyaratkan bahwa keterlibatan secara aktif merupakan hal
yang sangat penting dalam membangun pemahaman tentang sesuatu yang
dipelajari. Keterlibatan siswa secara aktif bentuknya bisa secara fisik,
dan yang lebih penting lagi secara mental. Bentuk-bentuk aktivitasnya
antara lain bisa berupa interaksi siswa-siswa atau siswa-guru,
memanipulasi benda-benda kongkrit seperti alat peraga, dan menggunakan
bahan ajar tertentu seperti buku dan alat-alat teknologi.
Memperhatikan Pengetahuan Awal Siswa
Karena sifat matematika yang merupakan suatu struktur yang
terorgani-sasikan dengan baik, maka pengetahuan prasyarat siswa
merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran
matematika. Pendekatan spiral yang dikembangkan dalam pengajaran
matematika, merupakan langkah tepat untuk memberi kesempatan kepada anak
mengembangkan pengetahuannya secara bertahap baik horizontal maupun
vertikal. Dengan memperhatikan pengetahuan awal siswa, guru diharapkan
mampu menyusun strategi pembelajaran lebih tepat yang meliputi penyiapan
bahan ajar, penyusunan langkah-langkah pembelajaran, serta penyiapan
alat evaluasi yang sesuai.
Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Siswa
Salah satu syarat untuk berkembangnya kemampuan interaksi antara satu
individu dengan individu lainnya adalah berkembangnya kemampuan
komunikasi. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan
kemampuan tersebut antara lain adalah memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menjelaskan dan berargumentasi secara lisan atau tertulis,
mengajukan atau menjawab pertanyaan, dan berdiskusi baik dalam kelompok
kecil maupun kelas.
Mengembangkan Kemampuan Metakognisi Siswa
Metakognisi adalah suatu istilah yang berkaitan dengan apa yang
diketahui seseorang tentang individu yang belajar dan bagaimana dia
mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Selain itu, metakognisi juga
merupakan bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa
yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan
seperti ini maka siswa dimungkinkan mengembangkan kemampuannya secara
optimal dalam belajar matematika, karena dalam setiap langkah yang dia
kerjakan senantiasa muncul pertanyaan seperti: “Apa yang saya
kerjakan?”, “Mengapa saya mengerjakan ini?”, “Hal apa yang bisa membantu
saya menyelesaikan masalah ini?”
Mengembangkan Lingkungan Belajar yang Sesuai
Lingkungan belajar hendaknya diciptakan sesuai dengan kebutuhan siswa
dalam belajar. Terciptanya lingkungan belajar yang baik dapat membantu
siswa dalam mencapai perkembangan potensialnya seperti yang dikemukakan
oleh Vygotsky. Selain beberapa prinsip di atas, berdasarkan teori
Vygotsky, diperoleh tiga hal utama yang berkaitan dengan pembelajaran
yakni:
- pembelajaran efektif mengarah pada perkembangan,
- pembelajaran efektif akan berhasil dikembangkan melalui setting pemecahan masalah, dan
- pembelajaran efektif berfokus pada upaya membantu siswa untuk mencapai potential development mereka.
Untuk mencapai pembelajaran efektif tersebut maka beberapa saran berikut nampaknya penting untuk diperhatikan:
- Tingkatkan sensitivitas bahwa siswa terlibat secara aktif dalam setting belajar yang dikembangkan
- Ciptakan problem solving interaktif yang mengarah pada proses belajar
- Sajikan soal-soal yang bersifat menantang
- Gunakan ongoing assessment untuk memonitor pembelajaran
- Ciptakan kesempatan bagi siswa untuk menampilkan kemampuan berfikir tingkat tingginya
- Beri dorongan serta kesempatan pada siswa untuk menampilkan berbagai solusi serta strategi berbeda pada penyelesaian suatu masalah
- Tingkatkan komunikasi, yakni dengan mendorong siswa untuk memberikan penjelasan serta jastifikasi pemikiran mereka
- Gunakan berbagai variasi strategi mengajar dan belajar
- Upayakan untuk menelusuri hal-hal yang belum diketahui siswa sehingga guru mampu membantu proses peningkatan potensial mereka.
Dalam kajiannya tentang implikasi pandangan konstruktivisme untuk
pencapaian hasil belajar dalam matematika, Burton (1992) mengajukan
suatu model pengimplementasian kurikulum yang memuat tiga dimensi yakni
dimensi silabi, pedagogi, dan evaluasi. Dalam model ini, silabi dimaknai
sebagai sesuatu yang diharapkan tercapai oleh kurikulum, pedagogi
adalah cara yang digunakan dalam proses pembelajaran, sedangkan evaluasi
adalah rangkaian strategi yang digunakan guru, siswa, atau fihak lain
untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar yang sudah dicapai. Akar
epistimologis dari interpretasi konstruktivis terhadap pembelajaran
matematika, juga merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan
model pembelajaran matematika.
Dalam hal ini, Barbin (1992) mengemukakan bahwa terdapat dua
kemungkinan konsepsi yang bisa muncul yakni pengetahuan matematika
dipandang sebagai produk dan proses. Dalam konsepsi pertama, matematika
dipandang sebagai suatu sistem yang sudah baku dan siap pakai, sedangkan
konsepsi kedua lebih menitik beratkan pada matematika sebagai suatu
aktivitas (mathematical activity).
sumber :
https://iillmu.blogspot.com/2017/09/pembelajaran-matematika-masa-kini.html?showComment=1538939663833#c7930993107764813875
No comments:
Post a Comment