Monday, April 23, 2018

Kriptografi

Hubungan Teori bilangan Dengan Algoritma

"KONSEP MODULO DALAM ALGORITMA CHAESAR CHIPPER"


Caesar cipher adalah algoritma cipher substitusi yang menggunakan konsep pergeseran  huruf  dengan  modulo  26. Secara  matematis  dapat  dirumuskan  sebagai berikut S= (T+K) Modulo 26. S= Teks Sandi  T= Teks Terang  K=Kunci. Algoritma ini biasanya  digunakan  untuk proses enkripsi suatu informasi  yang bersifat khusus atau rahasia pada zaman romawi.
Dalam  kriptografi,  sandi  Caesar,  atau  sandi  geser,  kode  Caesar  atau  Geseran Caesar adalah salah satu teknik enkripsi paling sederhana dan paling terkenal. Sandi ini termasuk sandi substitusi dimana setiap huruf pada teks terang (plaintext) digantikan oleh huruf lain yang memiliki selisih posisi tertentu dalam alfabet. Pada Caesar cipher, tiap huruf disubtitusi dengan huruf ketiga berikutnya dari susunan alphabet yang sama. Dalam hal ini kuncinya adalah pergeseran  huruf (yaitu 3). Susunan alphabet  setelah digeser sejauh 3 huruf membentuk sebuah table substitusi sebagai berikut:



Alfabet Biasa: A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
Alfabet Sandi: D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z A B C

Untuk menyandikan sebuah pesan, cukup mencari setiap huruf yang hendak disandikan di alfabet biasa, lalu tuliskan huruf yang sesuai pada alfabet sandi. Untuk memecahkan sandi tersebut gunakan cara sebaliknya. Contoh penyandian sebuah pesan adalah sebagai berikut.

Teks Terang    :   JANGAN MENDEKATI BLOK  D
Teks Sandi      :    MDQJD  QPHQG  HNDWL  EORNG

Dengan mengkodekan setiap huruf alfabet dengan integer : ‘A’= 0 , ‘B’= 1,…, ‘Z’= 25, maka secara matematis pergeseran 3 huruf alfabetik ekivalen dengan melakukan operasi modulo terhadap plainteks P menjadi cipherteks C dengan persamaan
C = E ( P ) = ( P + 3 ) mod 26                                                                          
Karena ada 26 huruf didalam alphabet. Penerima pesan mengembalikan lagi cipherteks dengan operasi kebalikan, secara matematis dapat dinyatakan dengan persamaan
P = D ( C ) = ( C - 3 ) mod 26                                                                           
Dapat diperhatikan bahwa fungsi D adalah balikan (invers) dari fungsi E , yaitu :
D ( C ) = E-1 ( P )                                                                                              

Penggunaan   dari   Caesar   cipher   ini   dapat   dimodifikasi   dengan   mengubah jumlah   gesaran    (bukan    hanya   3)   dan   juga   arah   geseran.    Jadi   kita   dapat menggunakan    Caesar    cipher    dengan    geser    7    ke    kiri,    misalnya.    Hal    ini dilakukan   untuk   lebih   menyulitkan   orang   yang   ingin   menyadap   pesan   sebab dia harus mencoba semua kombinasi (26 kemungkinan geser).
Salah  satu  pengembangan  dari Caesar  cipher  adalah  ROT13.  Pada  sistem  ini sebuah huruf digantikan dengan huruf yang letaknya 13 posisi darinya. Sebagai contoh, huruf “A” digantikan dengan huruf “N”, huruf “B” digantikan dengan huruf “O”, dan seterusnya. Secara matematis, hal ini dapat dituliskan sebagai:

C = ROT13 ( M)                                                                                                  
Untuk   mengembalikan    kembali   ke   bentuk   semulanya    dilakukan   proses enkripsi ROT13 dua kali.
M = ROT13 ( ROT13 (M))        
                                                                         

ROT13 memang tidak didesain untuk keamanan tingkat tinggi. ROT13, misalnya digunakan untuk menyelubungi  isi dari artikel (posting) di Usenet news yang berbau ofensif. Sehingga  hanya orang yang betul-betul ingin membaca dapat melihat isinya. Contoh penggunaan lain adalah untuk menutupi jawaban dari sebuah teka teki (puzzle) atau jika kita ingin marah marah (memaki) akan tetapi ingin agar orang lain tidak tersinggung.  (Orang yang ingin membaca makian kita harus melakukan konversi ROT13 sendiri.)


Cipher dan Matematika
Dasar keilmuan dari Caesar cipher sebagian besar adalah matematika yang antara lain mencakup  teori bilangan,  aljabar dan fungsi. Subbab matematika  tersebut  sudah diajarkan sejak pendidikan sekolah bahkan diperluas lagi di perguruan tinggi.   Rumus Caesar cipher secara umum :
C = E ( P ) = ( P + k) mod 26                                                                          
Dan Fungsi Dekripsi adalah
P = D ( C ) = ( C - k ) mod 26                                                                         
Catatan:
  1. Pergeseran 0 sama dengan pergeseran 26(susunan huruf tidak berubah).
  2. Pergeseran  lain  untuk  k>25  dapat  juga  dilakukan  namun  hasilnya  akan kongruen dengan bilangan bulat dalam modulo 26. Misalnya k=37 kongruen dengan 11 dalam modulus 26, atau 37 ≡ 11 (mod 26).

Persamaan  di atas menggunakan  subbab matematika  teori bilangan khususnya dengan modulus. Operasi modulus adalah sebuah operasi yang menghasilkan sisa pembagian dari suatu bilangan terhadap bilangan lainnya.
Contoh  modulus :
1 = 7 mod 2
2 = 5 mod 3

Sebenarnya operasi modulus sudah dikenalkan sejak dini hanya saja banyak yang tidak tahu nama operasi tersebut. Selain menggunakan operasi modulus, Caesar cipher juga menggunakan aljabar dalam pengerjaannya. Aljabar dasar, yang mencatat sifat-sifat operasi bilangan riil, menggunakan simbol sebagai "pengganti" untuk menandakan konstanta dan variabel, dan mempelajari aturan tentang ungkapan dan persamaan matematis yang melibatkan simbol-simbol tersebut.
Diketahui       :  r + 3 = 10
Ditanyakan    :  r = ? Penyelesaian :
r + 3 - 3 = 10 - 3
(sama sama dikurangi dengan bilangan yang sama yaitu3)
r = 7
Masih banyak lagi penggunaan matematika dalam Caesar cipher



Tuesday, April 10, 2018

MANAGEMEN PENANGGULANGAN BENCANA DAN LINGKUNGAN

PERINGATAN DINI BERBASIS PERINGATAN



Kata Pengantar
Bencana yang sering terjadi di Indonesia menimbulkan kerugian sekitar 80% (total 150 Triliun) dan dampak yang ditimbulkan selalu ditanggung sendiri oleh masyarakat. Karenanya, masyarakat adalah pemangku kepentingan utama dalam penanggulangan bencana. Salah satu tugas Badan Penanggulangan Bencana adalah menyediakan pedoman-pedoman atau acuan dan standarisasi dalam penanggulangan bencana, baik pada masa sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana maupun setelah terjadi bencana. Dalam upaya pencegahan dan kesiapsiagaan, peringatan dini merupkan komponen yang sangat penting untuk efektifitasnya upaya penanggulangan bencana, khususnya dalam memberikan peringatan kepada masyarakat agar dapat bertindak sesuai dengan jenis peringatan yang diberikan. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi lembaga pengambil keputusan di daerah di tingkat masyarakat, khususnya bagi lembaga yang dapat menerima peringatan secara resmi dari lembaga yang berwenang maupun peringatan yang yang berasal dari gejala-gejala alam. Semoga pedoman umum ini dapat dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan di daerah dalam mengembangkan sistem peringatan dini di masyarakat.
Surabaya, 13 Desember 2017
            Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sistem peringatan dini bencana adalah elemen yang sangat penting dalam upaya pengurangan risiko bencana. Dengan adanya peringatan dini bencana, maka masyarakat dapat melakukan respon yang sesuai untuk melakukan penyelamatan dan menghindari korban jiwa serta mengurangi dampak bencana tersebut. Agar sistem peringatan dini dapat berjalan secara efektif maka dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat yang berada di daerah berisiko, memfasilitasi kegiatan-kegatan penyadaran publik dan kesiapsiagaan masyarakat, serta penyampaian peringatan yang terpercaya. 
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Masyarakat memiliki hak untuk untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap ke giatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya serta berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana.
Peringatan dini sebagai salah satu bagian dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Agar dapat berjalan efektif, sistem peringatan dini harus dikelola secara terpadu dan menyeluruh, serta melibatkan secara aktif masyarakat dan para pemangku kepentingan terkait.
Syarat sebuah peringatan dini yang lengkap dan efektif serta berpusat pada masyarakat (people-centered) adalah terpenuhinya empat komponen yaitu pengetahuan risiko, pemantauan bahaya dan layanan peringatan, penyebaran dan komunikasi dan kemampuan respon.
Tujuan utama sistem peringatan dini berbasis masyarakat adalah meng- uatkan individu dan masyarakat yang terancam bahaya untuk bertindak secara tepat waktu dan benar sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan fisik seseorang dan kematian.

B. Tujuan
Pedoman ini bertujuan untuk:
    1. Sebagai Pedoman bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam mengembangkan sistem peringatan dini pada tingkat masyarakat di wilayah kerja masing-masing;
    2. Sebagai panduan dalam penyusunan prosedur tetap (protap) peringatan dini di tingkat masyarakat
    3. Sebagai panduan bagi masyarakat untuk mengembangkan sitem peringatan dini di masyarakat.
C. Ruang Lingkup
Pedoman ini bersifat umum dalam pengembangan sistem peringatan dini di tingkat masyarakat dengan tata urut sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan;
Bab II : Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan;
Bab III : Peringatan Dini Berbasi Masyarakat;
Bab IV : Respon Masyarakat; Bab V : Penutup;

D. Landasan Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
  5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 tahun 2007 tentang Sarana dan Prasarana dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
  6. Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.


BAB II
PERINGATAN DINI DAN KESIAPSIAGAAN
A. Pengertian

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun factor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
Kemampuan adalah Penguasaan sumberdaya, cara dan kekuatan yang dimiliki penduduk, yang memungkinkan bagi mereka untuk mempersiapkan diri, mencegah, menjinakkan, menanggulangi, mempertahankan diri serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang
Diseminasi adalah proses penyebaran informasi/peringatan kepada pihak-pihak terkait
Masyarakat adalah perseorangan, kelompok orang dan badan hukum.

B. Prinsip Dasar


Seiring meningkatnya intensitas dan frekuensi berbagai ancaman bencana yang terjadi di Indonesia, kesiapsiagaan perlu didorong agar dalam menghadapi situasi darurat masyarakat dapat berperan maksimal sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya. Hal ini mengingat masyarakat tidak selalu menerima peringatan dini yang dikeluarkan oleh lembaga terkait. Kebijakan pencegahan terlalu penting jika hanya diserahkan kepada pemerintah atau lembaga internasional saja (Koffi Annan, 1999).
Masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan sarana yang ada disekitarnya sebagai sumber informasi dan komunikasi. Walaupun sesungguhnya masyarakat sebagai sumber informasi dan komunikasi. Walaupun sesungguhnya masyarakat telah memiliki pengetahuan dan kearifan lokal tentang gejala alam sebagai tanda-tanda akan terjadinya suatu bencana. Pengetahuan akan gejala alam tersebut sangat diperlukan, karena merupakan salah satu bentuk peringatan dini bagi masyarakat untuk dapat melakukan tindakan penyelamatan diri.
Dalam pengantar \Pedoman WMO pada Praktek Pelayanan Cuaca Publik" dinyatakan bahwa peringatan dini hanya apabila diterima, dipahami, dipercaya, dan ditindak lanjuti.
Diterima: Mudah diakses masyarakat
Dipahami: Pesan yang disampaikan harus jelas, padat, disajikan sesuai dengan konteks social dan budaya setempat
Dipercaya: Pesan dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berwenang dan memiliki reputasi yang baik dalam memberikan informasi
Ditindak lanjuti: Pesan yang yang diterima dapat digunakan untuk melakukan tindakan yang berguna dalam menghindari maupun mengurangi risiko.



C. Unsur Peringatan Dini

Tujuan dari pengembangan sistem peringatan dini yang berbasis masyarakat adalah untuk memberdayakan individu dan masyarakat yang terancam bahaya untuk bertindak dalam waktu yang cukup dan dengan cara-cara yang tepat untuk mengurangi kemungkinan terjadinya korban luka, hilangnya jiwa, serta rusaknya harta benda dan lingkungan.
Sistem peringatan dini yang lengkap dan efektif terdiri atas empat unsur yang saling terkait, mulai dari pengetahuan tentang bahaya dan kerentanan, hingga kesiapan dan kemampuan untuk menanggulangi. Pengalaman baik dari sistem peringatan dini juga memiliki hubungan antar-ikatan yang kuat dan saluran komunikasi yang efektif di antara semua elemen tersebut.



D. Pengetahuan Tentang Resiko

Risiko akan muncul dari kombinasi adanya bahaya dan kerentanan di lokasi tertentu. Kajian terhadap risiko bencana memerlukan pengumpulan dan analisis data yang sistematis serta harus mempertimbangkan sifat dinamis dari bahaya dan kerentanan yang muncul dari berbagai proses seperti urbanisasi, perubahan pemanfaatan lahan, penurunan kualitas lingkungan, dan perubahan iklim. Kajian dan peta risiko bencana akan membantu memotivasi orang, sehingga mereka akan memprioritaskan pada kebutuhan sistem peringatan dini dan penyiapan panduan untuk mencegah dan menanggulngi bencana.

E. Penyebarluasan dan Komunikasi
Peringatan harus menjangkau semua orang yang terancam bahaya. Pesan yang jelas dan berisi empat unsur kunci dari Sistem Peringatan Dini yang Terpusat pada Masyarakat. informasi yang sederhana namun berguna sangatlah penting untuk melakukan tanggapan yang tepat, yang akan membantu menyelamatkan jiwa dan kehidupan. Sistem komunikasi tingkat regional, nasional, dan masyarakat harus diidentifikasi dahulu, dan pemegang kewenangan yang sesuai harus terbentuk. Penggunaan berbagai saluran komunikasi sangat perlu untuk memastikan agar sebanyak mungkin orang yang diberi peringatan, guna menghindari terjadinya kegagalan di suatu saluran, dan sekaligus untuk memperkuat pesan peringatan

BAB III
SISTEM PERINGATAN DINI

A. Sistem Peringatan Dini Nasional

Peringatan dini di masyarakat dapat dikembangkan dengan mengacu pada skema peringatan yang ada pada tingkat nasional dimana sumber peringatan resmi berasal dari lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peringatan.
Lembaga-lembaga tersebut adalah:

  1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
  2. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geo_sika (BMKG), bertanggung jawab untuk memberikan peringatan dini cuaca, bencana gempa bumi dan tsunami
  3. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, (PVMBG), Badan Geologi bertanggung jawab untuk memberikan peringatan dini bencana Letusan gunung api dan gerakan tanah.
  4. Kementerian Pekerjaan Umum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, bertanggung jawab untuk memberikan peringatan bencana banjir dan kekeringan
  5. Kementerian Kehutanan bertanggungjawab untuk memberikan peringatan dini bencana kebakaran hutan.

Skema peringatan dini bencana pada tingkat nasional dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut:

Gambar 3.1: Skema peringatan dini bencana dari Pemerintah ke masyarakat
Peringatan dini pada tingkat masyarakat harus memiliki beberapa prinsip sebagai berikut:
1. Tepat waktu;
2. Akurat;
3. Dapat dipertanggungjawabkan.
Suatu sistem peringatan dini akan dapat dilaksanakan jika memenuhi ketiga syarat berikut:
1. Adanya informasi resmi yang dapat dipercaya;
2. Adanya alat dan tanda bahaya yang disepakati;
3. Ada cara/mekanisme untuk menyebarluaskan peringatan tersebut;

B. Sistem Peringatan Dini di Masyarakat
Peringatan dini masyarakat dikembangkan dengan mengacu pada skema peringatan yang ada pada nasional yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peringatan resmi (official warning). Hal ini diperlukan agar informasi peringatan dini dapat diimplementasikan di masyarakat.
Pada beberapa wilayah di mana tidak dapat menerima peringatan dini bencana dari lembaga nasional, maka gejala alam akan terjadinya bencana menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan sebagai indikasi akan terjadinya bencana, sehingga hal tersebut dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan bentuk peringatan dini yang akan dikeluarkan.

Gambar 3.2: Dasar pengambilan keputusan peringatan dini pada masyarakat


Dari Gambar 3.2 terlihat bagaimana tanda kejadian bencana dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk penyebaran peringatan dini bencana setelah melalui proses pemantuan dan deteksi bencana, dan dilakukan analisis singkat atas gejala-gejala yang ditimbulkan untuk menghasilkan rekomendasi keputusan peringatan yang akan dikeluarkan.
Pengetahuan gejala alam akan potensi terjadinya bencana menjadi faktor utama bagi masyarakat untuk dapat mengambil tindakan yang dibutuhkan. Pengetahuan gejala alam ini dapat dikembangkan dari pengetahuanpengetahuan lokal yang sudah ada diketahui secara luas tentang bagaimana suatu benjana akan terjadi.
Masyarakat sangat berperan dalam efektifitas sistem peringatan dini ini. Peran ini tercermin dari kesadaran atau kepedulian masyarakat serta pemahaman terhadap sistem peringatan, ditambah dengan kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan terkait (tindakan antisipatif, prosedur evakuasi dan sebagainya). Harus diperhatikan juga bahwa terlalu banyak peringatan yang salah dapat mengakibatkan kejenuhan atas peringatan yang terus menerus, sehingga akhirnya sistem peringatan menjadi tidak efektif lagi.

C. Diseminasi Informasi dan Komunikasi
Peringatan dini bencana harus segera disebarkan ke masyarakat umum agar masyarakat dapat melakukan tindakan yang sesuai dengan isi peringatan yang diberikan.

a. Pengorganisasian Peringatan Dini

Sesuai dengan prinsipnya bahwa peringatan dini harus dapat dipertanggungjawabkan, maka pada tingkat masyarakat harus dibentuk Kelompok Peringatan Dini yang bertanggungjawab untuk melakukan proses pemantuan gejala alam, analisis serta mengeluarkan peringatan dini dan pelaporan.
Kelompok ini dapat berada pada struktur Kelompok Siaga Bencana di tingkat masyarakat dan dibawah pembinaan pemerintah daerah setempat melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Gambar 3.3: Struktur kelompok peringatan dini tingkat masyarakat
Kelompok Peringatan Dini ini terdiri dari empat tim, yaitu:
1. Tim Pemantau;
2. Tim Analisis;
3. Tim Diseminasi;
4. Tim Pelaporan.
Proses pemantauan dan analisis informasi merupakan fase pemanfaatan informasi. Proses ini dapat dilakukan oleh individual berdasarkan masukan dari staffnya (biasanya melalui suatu pertemuan khusus).
Proses pengambilan keputusan merupakan suatu phase kritis yang mengubah informasi jadi arahan. Kegiatan ini dilakukan oleh individual/perseorangan yang bertanggung jawab penuh atas tindakannya, atau oleh seseorang yang memegang tanggung jawab tertentu atas konsultasi dengan staf atau penasihat ahlinya.
Tindakan yang dilakukan berupa tindak lanjut dari keputusan yang diambil dalam bentuk serangkaian arahan, baik dinamik maupun statik. Contoh arahan dinamik : SAR, evakuasi, mobilisasi sumberdaya, peringatan/instruksi untuk masyarakat, sedangkan statik statik bisa berupa menunggu informasi lebih lanjut/stand-by, atau tidak perlu mengambil tindakan apa-apa.
Anggota gugus ini berasal dari perwakilan masyarakat bisa dari perwakilan tokoh masyarakat, tokoh pemuda, ibu-ibu PKK, serta kader-kader lainnya yang memiliki latar belakang keterampilan yang sesuai dengan tugastugas tersebut. Perwakilan masyarakat ini yang akan menjadi kader-kader (avant-guard) di tingkat masyarakat untuk memberikan respon pertama jika terjadi bencana.
Kelompok peringatan dini tingkat masyarakat ini harus dapat memanfaatkan dan memaksimalkan seluruh potensi dan sumberdaya yang dimiliki, sehingga tidak akan mengalami ketergantungan yang tinggi kepada lembaga atau pihak lainnya. Lembaga nasional atau lembaga lainnya hanya bersifat memberikan.

b. Format Informasi Peringatan Dini

Informasi Peringatan dini bencana mengacu pada empat level peringatan sebagai berikut:
Normal: kondisi aman, kondisi keseharian rata-rata dari ancaman yang diketahui dari berbagai data ilmiah termasuk melalui pengalaman atau data sejarah perilaku fenomena ancaman tersebut;
Waspada: terjadi peningkatan ancaman dan risiko yang dibuktikan dari hasil analisis data-data dan informasi ilimiah yang menunjukkan aktivitas ancaman di atas rata-rata dari kondisi normal;
Siaga: terjadi peningkatan ancaman dan risiko yang signifikan tetapi masih dapat dikendalikan sehingga sewaktu-waktu jika terjadi status kedaruratan dinaikkan pada level tertinggi, maka seluruh sumberdaya dapat segera dikerahkan untuk melakukan penyelamatan dan evakuasi masyarakat serta pengamanan asset. Tindakan yang dilakukan adalah dengan mendekatkan sumberdaya ke lokasi aman terdekat dari skenario ancaman serta memastikan seluruh peralatan dan sistem pengamanan dan penyelamatan berfungsi dengan baik;
Awas: tingkat ancaman dan risiko sedemikian tinggi sehingga membahayakan masyarakat. Tindakan yang diambil adalah melakukan upaya evakuasi.
Berdasarkan empat level peringatan tersebut, maka informasi peringatan dini tsunami harus memiliki teks standar peringatan yang minimal berisikan informasi:
1. Lokasi kejadian bencana;
2. Besaran kekuatan bencana;
3. Potensi wilayah terdampak;
4. Rekomendasi dan atau arahan.
Jika peringatan tersebut disebarkan dengan menggunakan pengeras suara, maka isi peringatan dapat disebarkan sesuai teks standar berikut:
“Disini......(sebutkan siapa pemberi peringatan), berdasarkan kondisi......(sebutkan gejala alam), maka disampaikan kepada masyarakat bahwa situasi......(sebutkan jenis bencana) ditetapkan pada pada status......(sebutkan statusnya). Untuk masyarakat di sekitar......(sebutkan nama daerah/desa) dihimbau untuk......(sebutkan respon masyarakat). Tunggu inforimasi lanjutan dari......(sebutkan lembaga pemberi peringatan).”
Jika peringatan tersebut disebarkan menggunakan tanda bunyi tertentu, seperti sirine, maka disepakati alat yang digunakan dan tandabunyinya.
Peringatan dini bencana yang disebarkan tidak hanya disampaikan kepada masyarakat, namun peringatan dini tersebut juga dilaporkan kepada BPBD maupun lembaga-lembaga lainnya agar mereka juga dapat merespon tindakan pertolongan yang mungkin dapat segera diberikan.

c. Diseminasi dan Rantai Informasi Peringatan Dini

Penyebaran peringatan harus dapat dilaksanakan dengan cepat dan akurat, maka peringatan dini yang dibangun harus memiliki jaringan informasi dan komunikasi secara cepat.
Peringatan dini bencana harus segera diaktivasi jika gejala-gejala alam yang terjadi menunjukkan indikasi adanya potensi bencana yang lebih tinggi. Skema peringatan dapat dilihat pada Gambar 3.4 berikut:

Gambar 3.4: Skema peringatan dini bencana
Sumber informasi dari peringatan bencana dapat berasal dari peringatan resmi dari pemerintah misal dari sistem peringatan dini melalui pejabat/kantor yang disepakati mempunyai wewenang (Stasiun BMKG, Pos Pantau Gunung Api, Pengamat Banjir dan sebagainya), maupun dari gejala alam yang berpotensi terjadi bencana atau dari masyarakat di tempat kejadian (misal orang yang melihat air surut setelah gempa kuat sebagai tanda awal).
Tahapan diseminasi peringatan ini adalah dengan mengaktifkan sistem peringatan dini bencana. Mekanisme diseminasi ini harus ditetapkan dan disepakati oleh seluruh unsur pelaksana di masyarakat dan dilegalkan secara hukum sesuai dengan kewenangan wilayahnya. Penyebarluasan informasi ini dapat menggunakan perangkat/peralatan yang dimiliki masyarakat dan mampu menjangkau seluruh wilayah bahaya. Alat-alat tradisional seperti kentongan, lonceng, bedug dan sebagainya. Juga peralatan komunikasi lain seperti telepon/telex/fax/sms/mms dan sebagainya, atau pesan melalui jaringan internet. Radio siaran/TV, kemudian jaringan radio amatir/RAPI/HT/SSB juga dapat melakukan fungsi pengiriman pesan. Tanda alarm seperti sirene yang sudah disepakati bersama dapat menjadi alat penyampai pesan yang efektif dengan disosialisasikan tanda bunyinya.

d. Latihan Peringatan Dini

Latihan peringatan dini perlu dilaksanakan secara berkala untuk selalu melatih dan menguji sistem peringatan dini bencana yang dibuat, serta melatih kesiapan personil yang bertanggungjawab untuk memantau, menganalisis dan mengeluarkan peringatan. Latihan ini dapat dilaksanakan secara parsial internal tim saja ataupun dengan melibatkan masyarakat secara luas. Bentuk dan jenis latihan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dalam rangka latihan tersebut perlu diperhatikan beberapa aspek sebagai berikut:
1. Jenis ancaman bencana;
2. Mekanisme pemantauan, analisis dan diseminasi peringatan;
3. Respon yang diharapkan;
Latihan peringatan dini bencana ini juga bermanfaat bagi masyarakat untuk dapat memahami isi peringatan yang dikeluarkan serta melatih tindakan yang harus dilaksanakan oleh masyarakat sebagai suatu respon dari peringatan tersebut.
Dari proses latihan tersebut dapat dilihat bagaimana efektifitas sistem peringatan dini yang sudah dibangun serta kendala-kendala yang dihadapi untuk dapat dilaksanakan proses perbaikan sistem agar peingatan dini tersebut dapat disampaikan tepat waktu dan dipahami oleh seluruh unsure yang menerima.

D. Respon Masyarakat
     a. Tanggungjawab Masyarakat
Dalam peringatan dini bencana, masyarakat memiliki tanggungjawab untuk:
      1. Mengikuti arahan yang telah dikeluarkan oleh lembaga yang bertanggungjawab untuk memberikan peringatan dini bencana;
      2. Berpartisipasi dalam kegiatan latihan peringatan dini di masyarakat;
      3. Memberikan informasi yang tepat terkait dengan potensi bencana yang terjadi;
      4. Menjaga seluruh sumberdaya dan peralatan yang terpasang untuk mendukung sistem peringatan dini bencana;
      5. Terlibat aktif dalam upaya pengurangan risiko bencana.

BAB IV
PENUTUP

Salah satu indikator meningkatnya kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi suatu bencana adalah respon masyarakat dalam menerima peringatan bencana. Respon masyarakat yang mengikuti arahan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang mengindikasikan berarti bawah masyarakat memiliki kepercayaan yang besar kepada pemerintah setempat.
Sistem peringatan dini akan sangat bermanfaat jika peringatan yang dikeluarkan mampu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat, dan masyarakat dapat menyelamatkan diri dari suatu potensi bencana dengan menggunakan jalur-jalur evakuasi yang telah ditetapkan.
Selain peringatan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, masyarakat juga memiliki kemampuan untuk melakukan pengamatan potensi bencana dan meneruskan peringatan kepada masyarakat luas lainnya untuk melakukan evakuasi.
Kemampuan ini hendaknya dapat terus dijaga dan dikembangkan dengan memperhatikan potensi dan pengetahuan lokal yang dimiliki serta dengan tidak mengabaikan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.

Tuesday, April 3, 2018

MANAJEMEN BENCANA ALAM

RESUME UU NO 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAN UU NO 29 TAHUN 2014 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN


KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah tugas mata kuiah Managemen Bencana dan Bencana dengna judul  “MANAJEMEN BENCANA (RESUME UU NO 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN ENCANA DAN UU NO 29 TAHUN 2014 TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN) ”.
Saya  menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran untuk meningkatkan kualitas dan menyempurnakan makalah ini. Besar harapan kami agar hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang telah membacanya.

Surabaya, 04 Nopember 2017
Penulis




DAFTAR ISI
KATA PENGENTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang............................................................................................... 1
  2. Maksud dan Tujuan........................................................................................ 3
  3. Ruang Lingkup.............................................................................................. .3
BAB II. PEMBAHASAN
  1. RINGKASAN UU NO 24 TAHUN 2007
  2.  Nama Kelembagaan Pusat Maupun Daerah................................................. 4
  3.  Peran Dan Tanggung Jawab Pusat Dan Daerah........................................... 6
  4. RINGKASAN UU NO 29 TAHUN 2014
  5. Nama Kelembagaan Pusat Dan Daerah ....................................................... 7
  6. Peran Dan Tanggung Jawab Pusat Dan Daerah............................................ 8
BAB III. PENUTUP
  1. Kesimpulan.................................................................................................. 10
  2. Saran............................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 11

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
    Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah kepulauan nusantara terdiri dari berbagai wilayah yang memiliki keanekaragaman dan perbedaan secara geografis, hidrologis, geologis, dan demografis. Indonesia terletak diantara dua benua yakni Australia dan Asia serta diapit oleh dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Secara geografis letak Indonesia berada pada pertemuan antara dua lempeng benua yang sifatnya dinamis. Lempeng benua tersebut sewaktu waktu dapat bergeser akibat gerakan tektonik. Pergeseran lempeng yang merupakan tenaga endogen tersebut berpotensi menimbulkan berbagai peristiwa alam seperti gempa ataupun gunung meletus.
    Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam maupun faktor nonalam maupun faktor manusia yang menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian materil, serta dampak psikologis. Bencana dikategorikan menjadi tiga yakni :
  1. Bencana Alam
    Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Bencana alam bersifat alamiah tanpa ada campur tngan manusia, sehingga lumpur lapindo bukan merupakan bencana alam.
  2. Bencana Nonalam
    Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencan non alam yang pernah melanda antara lain demam berdarah, flu burung, dan kini kita dilanda flu babi.
  3. Bencana Sosial
    Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas kelompok, juga terorisme.  Beberapa tahun terakhir ini intensitas bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, dsb sering terjadi. Bencana tersebut tidak hanya menimpa wilayah Indonesia, tapi juga menimpa wilayah belahan bumi lainnya

    Di Indonesia sebagaimana diketahui bahwa titik titik rawan gempa/bencana  (antara lain di daerah Aceh, Yogyakarta, Padang, Bengkulu dan  Papua), merupakan  daerah  titik   rawan  gempa. Selain disebabkan  oleh faktor  alam atau non alam, juga oleh faktor manusia. Bencana yang disebabkan oleh faktor alam; seperti gempa   bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, dan tanah longsor, Sementara yang disebabkan oleh faktor manusia adalah seperti konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
    Untuk mengatasi permasalahan bencana tersebut, berbagai pihak telah terlibat dalam persoalan tersebut, namun peran vital negara tidak dapat dinafikan.  Dalam hal ini pemerintah harus bertanggung jawab dalam penanggulanggan bencana. Selain karena bencana (baik yang disebabkan oleh faktor alam atau non alam, maupun oleh faktor manusia), kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis, serta sangat berpengaruh besar terhadap kesejahteraan warga negara. Akibat dari peristiwa tersebut dampak dari bencana juga bersifat kompleks sehingga dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, politik, dan sosial.
    Tanggung jawab pemerintah, sesuai dengan bunyi Pembukaan Undang Undang Dasar RI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa :
    “Pemerintah  atau Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan      bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” ( Pembukaan UUD 1945 Alinea ke IV)

Maksud dan Tujuan
  1. Untuk mengetahui penyebab munculnya UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 29 tahun 2014 tentang pencarian dan pertolongan.
  2. Sebagai tugas untuk persyaratan mengikuti uts (ujian tengah semester)
Ruang LingkupRuang lingkup dari penelitian ini adalah tentang UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 29 Tahun 2014 tentang pencarian dan pertolongan

BAB II
PEMBAHASAN
    RINGKASAN UU NO 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
  1. Nama Kelembagaan  Pusat Maupun Daerah
    Secara garis besar, undang undang nomor 24 tahun 2007 membahas mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana dari landasan nilai, kelembagaan, distribusi kewenangan dan aturan hukum.:
    Pada BAB VI yang membahas tentang peran lembaga usaha dan lembaga internasional. Peran lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas melakukan penanggulangan bencana serta menginforrmasikan kepada publik secara transparan. Selain itu, dalam bab ini ada peran lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah yang dapat ikut serta dalam kegiatan penanggulangan bencana dan mendapat jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap para pekerjanya.
    Berdasarkan fokus bahasan dari tiap pasal, maka Nama kelembagaan di pusat maupun daerah yang di atur dalam undang undang nomor 24 tahun 2007 diatur dalam pasal-pasal sebagai  berikut: Pasal 10 – 25 Lembaga Pemerintah dalam penanggulangan bencana 
    Pada pasal 10-25 UU No 24 tahun 2007 ini membahas mengenai institusi pemerintah yang secara khusus ditunjuk untuk menangani penanggulangan bencana, baik ditingkat pusat maupun daerah beserta struktur, tugas dan fungsinya. Institusi tersebut adalah BNPB di pusat dan BPBD di daerah.
    Adapun nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana di pusat maupun daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) terdiri atas dua unsur yaitu pengarah penanggulangan bencana dan pelaksana penanggulangan bencana. BNPB sebagai Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas diantaranya :
  1. Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara
  2. Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan
  3. Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat
  4. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana
  5. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional
  6. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran pendapatan dan belanja Negara
  7. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
  8. Menyusun pedoman pembentukan badan penanggulangan bencana daerah
Berdasarkan pasal 13 Badan Nasional Penanggulangan  Bencana mempunyai fungsi meliputi:
  1. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan
  2. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh

Berdasarkan Pasal 14
  1.  Unsur pengarah penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a mempunyai fungsi:
  2. merumuskan konsep kebijakan penanggulangan bencana nasional;
  3. memantau;
  4. dan mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
  5. Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  6. pejabat pemerintah terkait; dan
  7. anggota masyarakat profesional.
  8. Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.


Berdasarkan Pasal 15
  1. Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b merupakan kewenangan Pemerintah.
  2. Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
  3. Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga profesional dan ahli.
Berdasarkan Pasal 18
  1. Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
  2.  Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  3. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib;dan
  4. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.
Berdasarkan Pasal 19
  1. Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas unsur:
  2. pengarah penanggulangan bencana.
  3. pelaksana penanggulangan bencana.
  4. Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
          Peran Dan Tanggung Jawab Pusat Maupun Daerah
          Peran dan Tanggungjawab Pusat maupun Daerah di ataur pada Pada Bagian Kedua  yang diatur pada pasal 19-25. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Pada pasal 20 Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi:
  1. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak \cepat dan tepat, efektif dan efisien; serta
  2. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Pada pasal 21 Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas:
  1. menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara;
  2.  menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
  3. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;
  4. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
  5. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya;
  6. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
  7. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
  8. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
  9. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
RINGKASAN UU NO 29 TAHUN 2014 TENTANG PENCARIAN PERTOLONGAN
  1. Nama Kelembagaan  Pusat Maupun Daerah
    Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia  (DPR-RI) pada 16 September 2014 lalu telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pencarian dan Pertolongan. RUU ini telah disahkan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 16 Oktober lalu, dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin pada hari yang sama sebagai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan.
    Dalam Undang-Undang (UU) ini disebutkan, bahwa penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan bertujuan di antaranya untuk: a. Melakukan pencarian serta memberikan pertolongan, penyelamatan, dan Evakuasi Korban secara cepat, tepat, aman, terpadu dan terkoordinasi; dan b. Mencegah dan mengurangi kefatalan dalam Kecelakaan.
    Pasal 47 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014 ini menegaskan, Pemerintah membentuk Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pencarian dan Pertolongan.
    “Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud merupakan lembaga pemerintah nonkementerian, yang berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Presiden,” bunyi Pasal 47 Ayat (1,2) UU tersebut
    Adapaun Nama Kelembagaan baik pusat maupun daerah diatur dalam BAB VIII tentang Kelembagaan pasal 47 sebagai berikut:
  1. Pemerintah membentuk Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pencarian dan Pertolongan.
  2. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian.
  3. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Presiden.
         Peran Dan Tanggung Jawab Pusat Dan Daerah
         Adapun tugas Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan di antaranya adalah:
  1. Menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria, serta persyaratan dan prosedur perizinan dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan;
  2. Memberikan pedoman dan pengarahan dalam penelenggaraan Pencarian dan Pertolongan;
  3. Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan; dan
  4. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait.


    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan memiliki kewenangan untuk mengerahkan personel dan peralatan yang dibutuhkan dari TNI dan Polri untuk melaksanakan Operasi Pencarian dan Pertolongan.
    “Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan mendirikan kantor/pos Pencarian dan Pertolongan sesuai dengan kebutuhan dan wilayah tanggung jawab penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan,” bunyi Pasal 49 Undang-Undang ini.


    Berikut metupakan rincian pasal-pasal yang menjelaskan tentang peran dan tanggung jawab pusat maupun daerah:
  1. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 bertugas:
  2. menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria, serta persyaratan dan prosedur perizinan dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan;
  3. memberikan pedoman dan pengarahan dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan;
  4. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. melakukan koordinasi dengan instansi terkait;
  6. menyelenggarakan sistem informasi dan komunikasi;
  7. menyampaikan informasi penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan kepada masyarakat;
  8. menyampaikan informasi penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan secara berkala dansetiap saat pada masa penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan kepada masyarakat;
  9. melakukan pembinaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan; dan
  10. melakukan pemasyarakatan Pencarian dan Pertolongan.
  11. Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan dapat melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  12. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Pencarian dan  Pertolongan memiliki kewenangan untuk mengerahkan personel dan peralatan yang dibutuhkan dari  Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan Operasi Pencarian dan Pertolongan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan 
    UU NO 24 TAHUN 2007 membahas tentang penanggulangan bencana. Dalam UU NO 24 TAHUN 2007 tersebut juga membahas tentang BNPB yang  dibentuk sebagai pusat koordinasi antara berbagai institusi dan lembaga yang berkaitan dengan penanganan bencana. Namun demikian, karena luasnya cakupan tugas yang diemban BNPB dan koordinasi antar lembaga sering kali terbentur oleh masalah birokrasi serta aturan, maka hingga saat ini sulit untuk berharap BNPB dapat menjadi solusi dari semua permasalahan bencana di Indonesia. Karena itulah langkah proaktif dari elemen masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam mengurangi dampak merugikan dari bencana diharapkan dapat membantu BNPB dalam memenuhi tugasnya
    UU NO 29 TAHUN 2014 membahas tentang Pencarian dan pertolongan. Dalam UU NO 29 TAHUN 2014 ini, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan memiliki kewenangan untuk mengerahkan personel dan peralatan yang dibutuhkan dari TNI dan Polri untuk melaksanakan Operasi Pencarian dan Pertolongan.
    Adapun tugas Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan di antaranya adalah:  Menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria, serta persyaratan dan prosedur perizinan dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan; Memberikan pedoman dan pengarahan dalam penelenggaraan Pencarian dan Pertolongan, Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan; dan Melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
  2. Saran 
    Makalah ini hanya meresume tentang nama kelembagaan baik dari pusat maupun daerah serta peran dan tanggung jawab dari pusat maupun daerah. Terdapat banyak komponen-komponen lainnya yang tedapat dalam UU NO 24 TAHUN 2007 tentang Penanggulangan encana dan UU NO 29 TAHUN 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan di harapkan pembaca dapat mengkaji lagi tentang UU trersebut sebagai referensi dan pembahasan lebih lanjut

DAFTAR PUSTAKA
Altri Ramadoni. (2015). “Review UU NO 24 TAHUN 2007 Tentang Penanggulangan Bencana”.[Online] Tersedia: http://www.fisikaislam.com/2015/09/review-undang-undang-nomor-24-tahun-2007-tentang-penanggulangan-bencana.html  yang di akses pada 19 Oktober 2017
Fatria Fajrianti. (2015). “Critacal UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penaggulangan Bencana ”.[Online] Tersedia: https://www.academia.edu/20448922/Critical_Review_Undang-Undang_No._24_Tahun_2007_Tentang_Penanggulangan_Bencana?auto=download   yang di akses pada 19 Oktober 2017
Humas. (2014). “Critacal UU No 29 Tahun 2014 Pemerintah Harus Bentuk Badan Pencarian dan Pertolongan  ”.[Online] Tersedia: https://www.academia.edu/20448922/Critical_Review_Undang Undang_No._24_Tahun_2007_Tentang_Penanggulangan_Bencana?auto=download   yang di akses pada 19 Oktober 2017
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Pencarian  dan Pertolongan